Kamis, 25 Maret 2010

kontroversi nama allah

Sampai hare gini masih ada saja Pendeta tertentu yang kebakaran jenggot kalau mendengar
kata-kata “Allah” diucapkan. Pasalnya karena mereka ini mengklaim dirinya orang-orang yang
mau mengunakan nama Allah sesuai aslinya dalam Alkitab bahasa Ibrani. Kalau nama Allah
dalam bahasa Indonesia itu kurang afdol dan itu berasal dari negeri ‘sebrang’. Hal ini
menimbulkan kontroversi karena disatu sisi ada komunitas-komuntas Kristen baik pendeta
maupun anggota jemaat local yang terpengaruh dan menjadi bingung. Mengapa bingung?
Karena kelompok yang menolak menyebut nama Allah membuat pernyataan-pernyataan
(statement) yang sangat berpotensi menyulut pertentangan dikalangan internal bahkan bisa
juga menjurus ke SARA. Mereka mengkliam bahwa nama Allah orang Kristen itu Cuma ada
satu, yaitu ‘YAHWEH’, dan nama itu tidak boleh diterjemahkan.

Berkenan dengan hal ini maka BPD GBI DKI Jakarta mengadakan Seminar sehari tentang
penggunaan nama Allah dengan tema: “Masih Relevankah Memperdebatkan Nama Allah”.
Seminar ini diadakan dengan pembicara Bambang Noorsena,SH, MH, MA, dan Pdt. Dr. Gernaida Pakpahan Pantan.

Ternyata para pendeta banyak yang antusias untuk mengikuti acara ini. Dijelaskan oleh
Bambang bahwa penolakan “Allah” lebih bertolak dari asumsi Teologis. Faktor keterbatasan
bahasa sangat menentukan. Dikatakan juga bahwa untuk konteks Indonesia kita tetap pakai
nama Allah, karena itu adalah bahasa kita. Sedangkan Gernaida banyak menjelaskan tentang
kasus per kasus. Dalam makalah yang disampaikan oleh Bambang dikatakan bahwa diakui
atau tidak, gerakan “asal bukan Allah” ini diawali oleh sebuah asumsi teologis tertentu,seperti
tampak dari traktak Stephen van Natan dan Robert Morrey yang diwarnai sikap anti –Islam itu.
Pandangan polemic ini, di Indonesia mula-mula dimunculkan melalui traktat-traktak Dr. Sunadi,
yang gerakannya masih diteruskan oleh para pengagung Yahweh. Jadi seluruh argumentasi
penolakan yang mereka bangun itu, sebenarnnya mula-mula hanya untuk mempertahankan
asumsi teologis, bahwa Allah itu nama dewa kafir sebelum Islam.

Padahal harus ditekankan, terlepas dari penolakan orang Kristen bahwa Islam secara teologis
adalah kesinambungan dari agama Yahudi dan Kristen, tetapi tidak bisa disangkal bahwa
bahasa Ibrani, Aram dan Arab adalah termasuk dalam rumpun bahasa-bahasa semitik. Karena
itu, membaca kamus terbitan manapaun di bawah kolong langit ini, akan kita jumpai: el.eloah,el
ohim,ha elohim
(ibrani),memang cognate dengan
allah,ilah,alihat,al-illah,allahuma
(arab). Begitu juga, mengenai cognate bentuk Arab ilah,alihat,allah dengan bahasa Aram
allah,alahin,alaha,
dapat kita baca dari karya JIbril
al-Qardahi,Al-Lubab:Qamus Suryani-‘Arabi
Tidak ada satu kamus pun di dunia ini, yang menulis Allah: “dewa kafir bangsa Arab”.
Theos,”dwa pagan bangsa Yunani”,kecuali sebagai keyakinan teologis seseorang. Konsekuensi
cara berpikir “ hitam-putih” semacam ini akan semakin meluas. Misalnya, nanti akan ada
penolakan terhadap term “teologis” (karena bersal dari theos, yang dicap “ dewa kafir Yunani”,
dan logos, “an intermediary being” dalam filsafat Hellenis). Apalagi dalam kasus kata Allah ini,
terkait erat dengan fakta keserumpunan bahasa-bahasa Timur Tengah,khususnya Ibrani,Aram
dan Arab.

Jadi, tidak bisa kita mengikuti keyakinan beberapa kelompok Kristen, bahwa gara-gara istilah
Allah dipakai oleh orang-orang Mekkah pra-Islam dalam makna pagan, kemudian orang-orang
awam Kristen ditakut-takuti: “Awas,Allah itu Dewa Bulan!”, karena orang Islam memasang
tanda bulan sabit di atas kubah masjid, seperti tampak dalm selebaran-selebaran yang secara
tendesius menyerang Islam tersebut.Sudah saatnya kita mengembangkan refleksi teologis
yang biblical, Apakah “ dewa bulan” itu memang ada? Jawabnya: Ada, tetapi tidak benar-benar
ada! Maksudnya, ada dalam pemikiran orang jahliyah, dan tidak sungguh-sungguh ada secara
nyata. “Dewa bulan”, “dewi matahari”,, “dewa air”, “dewi kucing”, semua itu ada dalam pikiran
orang-orang yang secara salah mencitrakan Sang Pencipta, TUHAN Yang Mahaesa (1
Kor.8:4-6; Kis.17:24-29). Dan lebih penting lagi, untuk kita renungkan. Kalau kita mengkaui
bahwa ilah-ilah itu memang benar-benar ada disamping “satu-satunya ilah” (al-Ilah, Allah),
apakah kita tidak menjadi “polities terselubung?”mengapa? karena kita percaya satu Tuhan,
tetapi ikah-ilah lain memang diakui ada. Kita harus jujur mengakui, bahwa setiap agana
memang mempunyai konsep mengenai ilah yang berbeda-beda . Tetapi perbedaan konsep
kita mengenai ilah-ilah atau tuhan-tuhan itu, tentu saja tidak berarti ada banyak tuhan sebanyakjumlahnya agama-agama di dunia ini.