Jumat, 20 Agustus 2010

Rencana Tentang Pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta


Pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta Pertama-tama kita harus sadar bahwa pemindahan ibukota dari satu kota ke kota lain adalah hal yang biasa dan pernah dilakukan.

Sebagai contoh, Amerika Serikat pernah memindahkan ibukota mereka dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, sementara Brazil memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Indonesia sendiri pernah memindahkan ibukotanya dari Jakarta ke Yogyakarta. Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya tampung) merupakan penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya. Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan pemindahan ibukota negara mereka. Jepang ingin memindahkan ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah kota Seoul dan sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta. Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai 22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya membengkak jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai total 23 juta jiwa. Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu dan sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan pemindahan ibukota Jakarta ke Jonggol.

Kenapa kita harus memindahkan ibukota dari Jakarta? Apa tidak repot? Apa biayanya tidak terlalu besar? Jawaban dari pertanyaan ini harus benar-benar tepat dan beralasan. Jika tidak, hanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya. Pertama kita harus sadar bahwa ibukota Jakarta di mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta begitu tinggi. Akibatnya jika penduduk Jakarta pada zaman Ali Sadikin tahun 1975-an hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa. Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa. Padahal tahun 1986 jumlahnya hanya sekitar 14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah. Asap kendaraan dan polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan pabrik. Sebagai contoh berbagai hutan kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading, Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan perumahan. Hal-hal di atas akan mengakibatkan:

1. Jakarta akan jadi kota yang sangat macet

2. Dengan banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan mengakibatkan pemborosan BBM. Paling tidak ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang dihabiskan oleh 2 juta pelaju ke Jakarta setiap tahun.

3. Dengan kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.

4. Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.

5. Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) juga meningkat karena orang berada lama di jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan

6. Banjir dan kekeringan akan semakin meningkat karena daerah resapan air terus berkurang.

7. Jumlah penduduk Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area 1500 km2 di Jabodetabek. Atau 15% penduduk menempati kurang dari 1% wilayah Indonesia.

8. Pembangunan akan semakin tidak merata karena kegiatan pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.

9. Tingkat Kejahatan/Kriminalitas akan meningkat karena luas wilayah tidak mampu menampung penduduk yang terlampau padat.

10. Timbul bahaya kelaparan karena over populasi dan sawah berubah jadi rumah, kantor, dan pabrik.

Saat ini pulau Jawa yang merupakan pulau terpadat di dunia 7 x lipat lebih padat daripada RRC. Kepadatan penduduk di Jawa 1.007 orang/km2 sementara di RRC hanya 138 orang/km2. Tak heran di pulau Jawa banyak orang yang kelaparan dan makan nasi aking. Untuk itu diperlukan penyebaran pusat kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang jumlah penduduknya hanya 563 ribu jiwa. Sementara pusat bisnis ada di New York dengan populasi 8,1 juta. Pusat kebudayaan ada di Los Angeles dengan populasi 3,9 juta. Pusat Industri otomotif ada di Detroit dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa. Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak tertumpuk di satu kota. Sehingga pembangunan bisa lebih merata. Indonesia juga harus begitu. Semua kegiatan jangan terpusat di Jakarta. Jika tidak, maka jumlah penduduk kota Jakarta akan terus membengkak. Dalam 10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar biasa). Biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya dipindahkan ke Kalimantan Tengah. Kenapa Kalimantan Tengah? Kenapa tidak di Jawa, Sulawesi, atau Sumatra? Pertama Jawa adalah pulau kecil yang sudah terlampau padat penduduknya. Luas pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2. Apalagi pulau Jawa yang subur dengan persawahan yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia. Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan berkurang sekitar 200 ribu ton per tahun! Indonesia akan semakin kekurangan pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh Indonesia. Jawa sudah kebanyakan penduduk/over-crowded! Ada pun pulau Sumatera letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di Sumatera sudah cukup lumayan. Sulawesi dengan luas 189.000 km2 dan jumlah penduduk sekitar 15 juta jiwa masih terlalu kecil wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami. Ada pun Kalimantan luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas dibanding pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit. Di pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan merupakan pulau yang teraman dari gempa. Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia yang baru. Sebaliknya Jakarta begitu dekat dengan gunung Krakatau yang ledakkannya 30 ribu x bom atom Hiroshima dengan tsunami setinggi 40 meter. Efek ledakan Krakatau terasa sampai Afrika dan Australia. Sekarang gunung Krakatau yang dulu rata dengan laut telah “tumbuh” setinggi 800 meter lebih dengan kecepatan “tumbuh” sekitar 7 meter/tahun. Sebagian ahli geologi memperkirakan letusan kembali terulang antara 2015-2083. Jadi Jakarta tinggal “menunggu waktu” saja…

Senin, 16 Agustus 2010

Pengakuan Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Belanda


Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pengakuan ini baru dilakukan pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, oleh Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot dalam pidato resminya di Gedung Deplu. Pada kesempatan itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda. Keesokan harinya, Bot juga menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta. Langkah Bot ini mendobrak tabu dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah.

Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI. Balkenende menghadiri resepsi diplomatik HUT Kemerdekaan RI ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag. Kehadirannya didampingi oleh para menteri utama Kabinet Balkenende IV, antara lain Menteri Luar Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Hukum Ernst Hirsch Ballin, Menteri Pertahanan Eimert van Middelkoop, dan para pejabat tinggi kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta Besar Belanda untuk Indonesia.

Selama hampir 60 tahun, Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal.

Sebelumnya, pada tahun 1995, Ratu Beatrix sempat ingin menghadiri Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-50. Tapi keinginan ini ditentang PM Wim Kok. Akhirnya Beatrix terpaksa mampir di Singapura dan baru memasuki Indonesia beberapa hari setelah peringatan proklamasi.

Menlu Ben Bot menegaskan, kehadirannya pada upacara Hari Ulang Tahun RI ke-60 dapat dilihat sebagai penerimaan politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada 17-8-1945. Atas nama Belanda, ia juga meminta maaf.

Menlu Belanda Bernard Bot menyampaikan hal itu dalam upacara peringatan berakhirnya pendudukan Jepang di Hindia Belanda, hari Senin 15 Agustus 2005 di kompleks Monumen Hindia, Den Haag. Pernyataan Bot itu juga disaksikan Ratu Beatrix, yang hadir meletakkan karangan bunga.

Bot secara eksplisit mengungkapkan bahwa sikap dan langkahnya tersebut telah mendapat dukungan kabinet. "Saya dengan dukungan kabinet akan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa di Belanda ada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia de facto telah dimulai 17-8-1945 dan bahwa kita 60 tahun setelah itu, dalam pengertian politik dan moral, telah menerima dengan lapang dada," demikian Bot.

Pengakuan secara resmi soal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 selama ini sulit diterima para veteran, sebab mereka ketika itu setelah tanggal tersebut dikerahkan untuk melakukan Agresi Militer. Baru kemudian pada 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia secara resmi diteken.

Menurut menteri yang lahir pada 21 November 1937 di Batavia (kini Jakarta), itu sikap menerima tanggal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 dalam pengertian moral juga berarti bahwa dirinya ikut mendukung ungkapan penyesalan mengenai perpisahan Indonesia-Belanda yang menyakitkan dan penuh kekerasan. "Hampir 6.000 militer Belanda gugur dalam pertempuran, banyak yang cacat atau menjadi korban trauma psikologis. Akibat pengerahan militer skala besar-besaran, negeri kita juga sepertinya berdiri pada sisi sejarah yang salah. Ini sungguh kurang mengenakkan bagi pihak-pihak yang terlibat," tandas Bot.

Doktor hukum lulusan Harvard Law School itu melukiskan berlikunya pengakuan seputar tanggal kemerdekaan dan hubungan Belanda-Indonesia itu seperti orang mendaki gunung. "Baru setelah seseorang berdiri di puncak gunung, orang dapat melihat mana jalan tersederhana dan tersingkat untuk menuju ke puncak. Hal seperti itu juga berlaku bagi mereka yang terlibat pengambilan keputusan pada tahun 40-an. Baru belakangan terlihat bahwa perpisahan Indonesia-Belanda terlalu berlarut-larut dan dengan diiringi banyak kekerasan militer melebihi seharusnya. Untuk itu saya atas nama pemerintah Belanda akan menyampaikan permohonan maaf di Jakarta," tekad Bot.

"Dalam hal ini saya mengharapkan pengertian dan dukungan dari masyarakat Hindia (angkatan Hindia Belanda), masyarakat Maluku di Belanda dan para veteran Aksi Polisionil," demikian Bot.
[sunting] Pernyataan Pemerintah Belanda di Jakarta

Selain itu Belanda sesalkan siksa Rakyat Indonesia pasca 17-8-1945, akhirnya mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Belanda pun mengakui tentaranya telah melakukan penyiksaan terhadap rakyat Indonesia melalui agresi militernya pasca proklamasi.

"Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas terjadinya semuanya ini," begitulah kata Menlu Bernard Bot dalam pidato resminya kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Menlu Hassan Wirajuda, di ruang Nusantara, Gedung Deplu, Jl Pejambon, Jakarta Pusat. "Fakta adanya aksi militer merupakan kenyataan sangat pahit bagi rakyat Indonesia. Atas nama pemerintah Belanda saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan ini," kata Menlu Belanda Bernard Bot kepada wartawan dalam pidato kenegaraan tersebut, hari Selasa 16 Agustus 2005.

Bot tidak menyampaikan permintaan maaf secara langsung, hanya berupa bentuk penyesalan. Ketika ditanya mengenai hal ini, Bot menjawab diplomatis. "Ini masalah sensitif bagi kedua negara. Pernyataan ini merupakan bentuk penyesalan yang mendalam. Kami yakin pemerintah Indonesia dapat memahami artinya," kilah Bot.

Bot mengakui, kehadiran dirinya merupakan pertama kali sejak 60 tahun lalu di mana seorang kabinet Belanda hadir dalam perayaan kemerdekaan. "Dengan kehadiran saya ini, pemerintah Belanda secara politik dan moral telah menerima proklamasi yaitu tanggal RI menyatakan kemerdekaannya," tukas pria kelahiran Batavia (Jakarta) ini.

Pasca proklamasi, lanjut Bot, agresi militer Belanda telah menghilangkan nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah sangat besar. Bot berharap, meski kenangan tersebut tidak pernah hilang dari ingatan rakyat Indonesia, jangan sampai hal tersebut menjadi penghalang rekonsiliasi antara Indonesia dan Belanda.

Meski menyesali penjajahan itu, Belanda tidak secara resmi menyatakan permintaan maaf. Indonesia pun tidak secara resmi menyatakan memaafkan Belanda atas tiga setengah abad penjajahannya.

Pidato ini dilakukan dalam rangka pesan dari pemerintah Belanda terkait peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 RI. Turut hadir Menlu Hassan Wirajuda, Jubir Deplu Marty Natalegawa, dan sejumlah mantan Menlu. Dari pihak Belanda, hadir Dubes Belanda untuk Indonesia dan disaksikan para Dubes dari negara-negara sahabat.
[sunting] Sikap Pemerintah Indonesia

Menlu Hassan pun hanya mengatakan,"Kami menerima pernyataan penyesalan dari pemerintah Belanda". Saat ditanya apakah dengan menerima penyesalan dari pemerintah Belanda berarti Indonesia memaafkan kejahatan Belanda semasa penjajahan dulu, Hassan tidak membenarkan dan tidak membantahnya. "Kita sudah dengar sendiri dari Menlu Bot. Ini adalah pernyataan yang sensitif. Di Belanda pun untuk menyatakan penyesalan ini menjadi perdebatan sejumlah pihak. Kita harus menghargai sikap Belanda," tutur Hassan.

Acara yang dimulai pukul 19.30 ini berakhir pada pukul 20.15 WIB. Usai menyampaikan pidatonya, kedua Menlu ini saling memotong tumpengan nasi kuning sebagai tanda dimulainya babak baru hubungan Indonesia dan Belanda. (sumber : detik.com)