Selasa, 23 November 2010

Beda Seorang PROF Indonesia dengan Jepang

Banyak mahasiswa Indonesia di Jepang kesulitan beradaptasi dengan budaya di Jepang. Mereka telah terbiasa menerima pelajaran dari guru atau dosen seperti yang pernah mereka terima di Indonesia. Mahasiswa datang ke kuliah untuk menerima ilmu dari sang dosen.

Harapan untuk menerima ilmu tersebut tentu saja segera pudar karena kebanyakan profesor di Jepang tidak memberikan ilmu secara umum, melainkan hanya mengungkapkan riset atau latar belakang matematika dari riset yang sang profesor sedang geluti. Begitu mendalam yang dia ungkapkan sehingga mahasiswa merasa ilmu tersebut tidak berguna karena terlalu teoritis. Mahasiswa yang tidak terbiasa belajar sendiri tentu saja akan mengabaikan apa yang diungkapkan sang professor karena harapan mereka masih terletak pada nilai dari mata kuliah. Makin kecewa mereka ketika kebanyakan profesor akan memberikan nilai A atau B+ untuk pekerjaan rumah dan ujian walaupun si mahasiswa tidak mengerti apa-apa.
Masalah seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila mahasiswa Indonesia telah mempersiapkan diri dengan baik secara mental dan budaya. Memahami mengapa sistem pendidikan di Jepang berbeda dengan di Indonesia serta mengerti tujuan pendidikan di Jepang merupakan langkah awal yang baik untuk mulai beradaptasi.
Pada prinsipnya, tujuan profesor di Jepang memberikan kuliah adalah agar mahasiswa mampu membaca jurnal dalam bidang ilmu tersebut dan mulai mengembangkan ide baru berdasarkan teori yang telah ada. Nilai mata kuliah bagi profesor di Jepang secara umum bukan harga evaluasi pengetahuan yang diketahui mahasiswa. Nilai mata kuliah hanyalah berfungsi untuk adminsitratif saja.
Perusahaan yang menerima alumi lulusan univeritas di Jepang umumnya tidak bertanya berapa IPK mereka, melainkan berapa jumlah publikasi dan apa yang baru dari riset yang digeluti. Kolusi di Jepang merupakan budaya yang kuat. Untuk mengatasi hal itu, bagi mereka diinginkan fakta yang lebih kuat: jumlah publikasi dan ide baru dari riset. IPK atau nilai mata kuliah terlalu mudah dibuat dan dimanipulasi via kolusi.
Hal lain yang membuat profesor di Jepang segan memberikan nilai buruk adalah karena budaya Jepang. Mereka telah mempelajari bahwa memberikan evaluasi negatif akan berdampak negatif pada kejiwaan mahasiswa. Mereka tabu untuk mengungkapkan sesuatu yang diperkirakan akan mempermalukan seseorang. Nilai buruk juga dianggap akan mempermalukan mahasiswa di kemudian hari, sehingga sangat jarang untuk diberikan (kecuali sangat keterlaluan malasnya).
Nilai A dan B+ hanyalah membedakan tingkat keseriusan mahasiswa di dalam belajar. Mahasiswa yang “Majime” atau serius belajar sendiri, dapat berharap mendapat nilai A, yang lain silakan mendapatkan nilai B+ atau B. Diharapkan nilai yang baik akan menyemangati mahasiswa untuk belajar sendiri lebih lanjut.
Sebagai kontras, sistem pendidikan tinggi di Indonesia mengadopsi sistem pendidikan barat dimana mahasiswa datang ke perguruan tinggi untuk menerima ilmu. Istilahnya “menimba ilmu” dari sang dosen. Penekanan terletak pada pengajaran (teaching) dan mata kuliah.
Di negara-negara barat, seperti Amerika dan Eropa, dosen bekerja selain mengajar juga mengembangkan riset mereka. Ilmu yang dikembangkan melalui riset diseminarkan melalui banyak konferensi ilmu pengetahuan. Ilmu sang profesor selalu baru karena mereka didanai oleh universitasnya untuk itu. Pengembangan ilmu adalah tugas profesor dan mahasiwa S3 saja. Mahasiswa S2 hanyalah untuk persiapan bagi riset independent di studi S3 nantinya.
Riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan telah memperoleh sistem yang baku dari berbagai sumber mulai dari militer, perusahaan, organisasi ilmu pengetahuan, sampai ke universitas itu sendiri. Dengan sistem ini, universitas “menjual” ilmu pengetahuan. Mahasiswa “membeli” ilmu pengetahuan. Masyarakat yang ingin membeli ilmu pengetahuan terbaru silahkan datang ke universitas untuk membelinya.
Cara menjual ilmu pun berbagai macam cara, mulai dari paket kecil satu atau dua mata kuliah, kuliah malam, kuliah musim panas, ataupun dalam paket besar dengan mendapatkan gelar. Umur untuk kuliah tidak menjadi masalah. Mulai belasan tahun hingga umur delapan puluhan pun dapat masuk kembali ke bangku kuliah. Celakanya untuk Indonesia, secara umum pengembangan ilmu oleh dosen hampir tidak ada karena kondisi ekonomi dan tuntutan keluarga yang mendesak. Yang ada hanyalah ilmu praktis yang merupakan pengulangan dari pengetahuan yang telah didapat terdahulu.
Sistem ‘jual-beli’ ilmu tersebut masih berlangsung, namun yang dijual bukan ilmu terbaru melainkan ilmu yang telah usang. Beruntungnya untuk Indonesia, begitu banyak lulusan S2 dan S3 baru dari dalam maupun luar negeri. Pada master dan doktor baru inilah yang merupakan kunci utama bagi universitas di Indonesia untuk menyampaikan ilmu terbaru. Walaupun setelah beberapa tahun ilmu mereka akan tertinggal juga karena kondisi yang ada, banyaknya jumlah pendatang baru ini menyeimbangkan sistem yang ada untuk sementara waktu.
Dalam jangka panjang, apabila jumlah lulusan S3 di Indonesia telah mencukupi, jelas sistem pendidikan di Indonesia perlu diubah. Berbeda dengan sistem pendidikan di negara barat, sistem pendidikan tinggi di Jepang dibuat berdasarkan budaya asal dari Jepang sendiri. Mereka tidak mentah-mentah mengadopsi sistem pendidikan barat.
Apabila di universitas Amerika, mahasiswa menerima ilmu, di Jepang, mahasiswa tidak semata-mata menerima ilmu, melainkan penekanan lebih kepada pengembangkan ilmu dan belajar mandiri. Dalam pemikiran orang Jepang, ilmu bukanlah hal statis. Ilmu itu dinamis dan selalu berkembang, berubah menurut penemuan terbaru. Sistem pembelajaran model barat yang diadopsi di Indonesia, lebih sesuai untuk ilmu yang statis. Seakan-akan apa yang diajarkan telah dibakukan dan tidak akan berubah lagi.
Ketika pengembangan ilmu pengetahuan tidak secepat saat ini, sistem pendidikan barat dapat diterima. Kenyataan yang ada, pengembangan ilmu sangatlah pesat. Apa yang kita ketahui 10 tahun lalu telah banyak yang berubah. Apabila sistem pendidikan lebih mengutamakan untuk mahasiswa menerima ilmu, setelah lulus dan menggunakan ilmu tersebut dalam dunia kerja pun, perlu kembali lagi menjadi mahasiswa lagi untuk menerima yang terbaru.
Sistem pendidikan di Jepang lebih mengutamakan mahasiswa untuk belajar sendiri. Setelah lulus, kapan pun mereka dapat memperbaharui ilmu mereka sendiri. Internet, buku-buku dan majalah maupun perpustakaan umum, maupun universitas tersedia sebagai sumber ilmu pengetahuan. Simbolisnya, bukan memberikan ikan, melainkan memberikan pancing.
Tujuan pendidikan tinggi di Jepang bukan semata-mata memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk menerima ilmu, melainkan untuk mengembangkan dan memberikan ilmu tersebut bagi masyarakat. Proses pemberian ilmu bagi masyarakat bukanlah setelah selesai belajar, melainkan pada saat studi, yakni melalui publikasi dan presentasi.
Hal ini sungguh menjadi masalah bagi banyak mahasiswa Indonesia di Jepang yang masih mengharapkan untuk menerima ilmu, bukan mendapatkan ilmu dengan belajar sendiri, mengembangkan ilmunya dan memberikan pada masyarakat. Cara berpikir mereka yang tidak mengerti atau tidak bersedia beradaptasi dengan sistem pendidikan di Jepang itulah yang merugikan mereka sendiri. Kesempatan dan fasilitas belajar dan penelitian yang sangat memadai tidak mereka pergunakan dengan baik.
Keluhan beberapa mahasiswa yang tidak mendapatkan cukup pengetahuan di Jepang sebenarnya cukup menggelikan mengingat hal itu merupakan usaha mereka sendiri. Makin tidak serius mahasiswa dalam belajar sendiri, makin sedikit pula yang mereka dapatkan. Di Jepang, mahasiswa tidak semata-mata menerima ilmu, melainkan penekanan lebih kepada pengembangkan ilmu dan belajar mandiri. Hampir semua universitas di Jepang merupakan universitas riset. Fasilitas, pola kerja dosen maupun mahasiswa disesuai semuanya untuk riset dan publikasi.
Mulai tahun pertama hingga ketiga, mahasiswa S1 di Jepang belajar ilmu di kelas secara umum seperti halnya mahasiswa di negara lain. Mulai tahun ke empat tingkat S1, mahasiswa masuk laboratorium dan mendapatkan meja dan komputer serta akses ke internet kecepatan tinggi. Berbagai jurnal ilmu pengetahuan internasional dapat diakses dari komputer di laboratorium.

Kebanyakan makalah jurnal internasional tersebut bahkan dapat di-download secara gratis karena perpustakaan universitas membayar akses tahunan. Keperluan fotokopi jurnal, maupun buku dapat diminta ke profesor pengelola laboratorium dan dibantu perpustakaan secara handal. Biasanya dalam waktu kurang dari 2 minggu, semua makalah maupun buku yang dipesan dapat diperoleh. Mahasiswa acapkali tidak menyadari bahwa biaya riset, fasilitas ruangan, komputer, perangkat lunak komputer maupun pengadaan literatur tersebut sangat mahal.
Hal ini karena mahasiswa memang tidak perlu membayar biaya fotokopi. Karena riset hanya dapat dilihat hasil yang dapat diukur dari publikasi dan patent. Beberapa laboratorium bahkan memberikan insentif pemberian biaya perjalanan, hotel dan pertemuan bagi mahasiswa yang dapat mempresentasikan risetnya ke konferensi nasional maupun internasional.
Perbedaan universitas besar dan univeritas kecil di Jepang terletak pada pengadaan fasilitas riset dan insentif. Dengan fasilitas yang relatif baik, dan bantuan keuangan bagi mahasiswa, universitas di Jepang mengharapkan mahasiswa dapat menikmati iklim kerja yang memungkinkan hasil riset yang baik.
Mulai dari tahun ke empat tingkat S1, mahasiswa belajar bersama dalam satu laboratorium, digolong-golongkan sesuai dengan kelompok belajar dari riset yang ingin mereka geluti. Mereka wajib mempresentasikan riset mereka hampir tiap minggu, maupun memberikan presentasi atas apa yang mereka telah pelajari secara pribadi pada kelompok belajar mereka.
Selain itu, beberapa bulan sekali, mereka perlu memberikan presentasi pada beberapa profesor dalam bidang terkait. Selain skripsi yang berupa hasil riset, mereka juga minimal satu kali perlu mengirimkan makalah dan memberikan presentasi dalam masyarakat ilmuwan dan profesional pada akhir studi mereka di S1.
Mahasiswa yang belajar dengan serius akan ditawarkan untuk melanjutkan ke tingkat S2 berbulan-bulan sebelum lulus S1. Di kala belajar di tingkat S2 pun, kebanyakan mahasiswa akan melanjutkan apa yang telah mereka kerjakan di tahun sebelumnya. Mahasiswa S3, selain melakukan riset mereka sendiri, juga perlu membangun kelompok belajar mereka sendiri serta membantu membimbing mahasiswa S2 dan S1. Dengan kerja sama yang akrab dan bertahun-tahun dalam satu laboratorium yang sama, semangat kepemimpinan, kemampuan pengambilan keputusan dan kerja sama telah ditanamkan. Bagi mahasiswa Jepang, tingkat S2 maupun S3 lebih merupakan akumulasi dari riset yang pernah dikerjakan di tingkat sebelumnya.
Untuk mahasiswa asing yang masuk mulai tingkat S2 maupun S3, kerja dan belajar mandiri yang lebih keras tentu saja diperlukan. Mereka dibandingkan rekan - rekan orang Jepang telah ketinggalan satu hingga tiga tahun dalam riset karena mulai dari tingkat yang lebih tinggi.
Kuliah bukanlah hal yang sangat penting bagi mahasiswa S2 dan S3. Bahkan beberapa program studi telah menghapus semua perkuliahan dan menggantinya dengan sistem seminar. Dalam sistem seminar, mahasiswa belajar sendiri kemudian menyampaikan apa yang telah dipelajari pada rekan mahasiswa yang lain maupun profesornya. Makin aktif seorang mahasiswa membangun kelompok belajar maupun seminar mereka sendiri, makin sibuk dan makin banyak yang dia dapatkan. Sebaliknya mahasiswa yang relatif lemah, akan dibantu oleh rekan-rekan dalam kelompok belajar yang sama.
Tentu saja, sistem pendidikan tinggi di Jepang bukan hal yang ideal. Justru masih jauh dari itu. Apa yang kelihatan masih perlu ditingkatkan di sistem pendidikan Jepang adalah pengenalan secara umum atas ilmu pengetahuan. Pengajaran dalam bentuk pengalaman kerja maupun riset ataupun latar belakang matematika yang mendalam masih memerlukan pengetahuan umum tentang struktur letak ilmu tersebut diantara ilmu lain yang telah ada. Lulusan perguruan tinggi di Jepang juga kekurangan pengetahuan praktis, walaupun kuat di ilmu pengetahuan teoritis. Alumni perguruan tinggi di Jepang umumnya perlu diberi kursus singkat di perusahaan tempat mereka bekerja selama beberapa bulan sebelum benar - benar siap untuk melakukan tugasnya. Mereka bukan lulusan siap pakai, melainkan lulusan yang terlatih berpikir dan mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar